Aku, Kaneisya Senja, mahasiswi jurusan kedokteran tingkat tamat yang sebentar lagi akan diwisuda dengan predikat Cum Laude. Aku adalah mahasiswi termuda di fakultas kedokteran di kampus ini, dibandingkan dengan teman teman seangkatanku. Bagaimana tidak, di sekolah menengah atas aku masuk kelas akselerasi, balasannya saya cuma menempuh pendidikan selama dua tahun saja disana, selain itu aku yang diketahui sebagai anak yang pintar oleh orang tuaku, mulai mengenyam pendidikan diusia lebih dini dibandingkan dengan kedua abang kembarku, Kelana Langit dan Kembara Birru.
Hari ini saya sungguh merindukan mereka, rindu yang teramat sangat dengan bunyi tawa dan segala kebahagiaan kami ketika berkumpul bareng . Rindu dengan pelukan hangat dan bingkisan bingkisan kecil yang mereka belikan untukku ketika pulang dari sekolah. Rindu dengan perasaan yang senantiasa merasa punya dua bodyguard yang senantiasa siap menjaga dan menemaniku kurun saya membutuhkannya. Rindu yang tak akan pernah berujung.
“ Mas Lanaaaa, tunggu aku dong..kelelahan nih!” seruku pada kakak kembar pertamaku. Hari ini kami berempat sedang berpetualang, menaiki bukit dan menuruni lembah yang ada di kota kawasan kami tinggal, ini yaitu pengalaman pertamaku mengikuti kegemaran ayah dan kedua kakak kembarku.
Mas Lana berhenti dan mengulurkan tangannya untuk menggandeng kemudian menggendongku di punggungnya. Mas Bara dan Ayah masih berlangsung dibelakang kami beberapa meter, mereka menjinjing tas punggung masing masing. Ayah menenteng peralatan berkemah kami sedangkan mas Bara membawa tas berisi bekal kuliner. Tugas mas Lana ialah mendampingi dan menjaga saya. Ya, hari ini kami berniat untuk camping di bukit yang terletak di pinggiran suatu desa. Ayah mengajak kami ke kawasan ini ditengah kesibukannya bekerja dan era liburan sekolah kami. Kedua kakakku sekolah di sebuah sekolah dasar swasta favorit di kota kami, sedangkan saya sendiri masih TK saat ini. Usiaku dengan mas Lana dan mas Bara terkait 6 tahunan. Bundaku?, ia sedang berada di Rumah Sakit menanti Mbah Ibu kami yang sedang sakit, bersama Mbah Bapak.
Aku berada dalam gendongan mas Lana cuma beberapa saat saja, karena tentu dia juga akan cepat merasa capek alasannya adalah medan mendaki yang kami lalui dikala ini.
“Kita istirahat dulu disini saja, mumpung ada daerah yang nyaman” kata Ayah “Wah..lihat! Dari sini kita mampu menyaksikan pemandangan indah!” seru mas Bara sambil menunjuk perkampungan dan jalanan meliuk liuk yang dilewati banyak kendaraan di bawah sana. Aku berjingkrak kegirangan, karena memang baru kali ini saya mampu melihat panorama seperti itu dari atas bukit seperti ini.
“Ayah, kawasan kita berkemah tidak jauh lagi kan yah?!” tanya mas Lana pada Ayah, “Iya, kita hanya tinggal melewati dua belokan lagi. Setelah itu kita akan ketemu tanah datar yang cukup lapang untuk mendirikan tenda dan menyalakan api unggun nanti malam.” Terang Ayah.
“Yeayy..saya suka api unggun!”, sorakku kegirangan. Aku sudah membayangkan Ayah akan memainkan gitarnya, kedua kakakku sibuk dengan masakan bakarnya sedangkan aku bernyanyi lagu yang telah Bu Guru ajarkan di sekolah. Tak lama lalu kami melanjutkan perjalanan menuju tempat yang Ayah gambarkan.
Tenda sudah bangkit, tengah haripun telah terlewat, matahari mulai cenderung ke barat saat ayah terlihat sedang ngobrol dengan seorang laki laki paruh baya yang nampak seperti masyarakatsetempat, saya tidak tau siapa. Mas Lana dan Mas Bara sedang mengumpulkan ranting pohon yang ada disekitar tenda kami, sedangkan saya cuma bermain main saja mengumpulkan bunga bunga kecil yang saya jumpai disekitar kami. Sambil sesekali kami bertiga bercanda dan saling menggodai satu sama lain. Aku selalu merasa senang bareng mereka, kami saling menyayangi, tidak cuma kedua orang tuaku, kedua abang kembarku pun sering memanjakanku. Pulang sekolah mereka sering membawakanku hadiah hadiah kecil berbentukjajan atau mainan yang mereka beli di sekolah,saya senantiasa merasa bahagia dan tak jarang saya penasaran kira kira apa yang mereka bawa untukku hari ini nanti. Sering pula keesokan harinya dengan ceria aku menceritakan kado apa yang mereka bawa kemarin untukku kepada sahabat teman dan guruku di sekolah.
Ayah kembali ketenda kami dengan membawa beberapa kayu bakar, ketela pohon dan entah apa lagi yang terbungkus di plastik hitam itu. Mas Lana berlari menghampiri Ayah, “Wah..Ayah dapat itu dari mana?” ucapnya terlihat senang.
“Tadi Ayah ngobrol dengan masyarakatsini, ternyata rumahnya itu yang terlihat dari sini” kata Ayah sambil menunjuk rumah yang dimaksud, “Sebenarnya Ayah hanya bermaksud mengumumkan dan mohon ijin saja kepada mereka kalo kita malam ini mau berkemah disini, eh..ternyata ujung ujungnya ia ngajak Ayah kerumahnya, Ayah diberi ini, katanya semoga nambah gayeng”.
“Gayeng itu apa, Yah?” tanyaku.
“Biar lebih asik, lebih menyenangkan, Sayang..” jawab Ayah
“Iya, kayak Dek Neisya yang udah dapet permen loly pop dari mas Lana, dapet juga tali rambut boneka dari mas Bara, menggembirakan kan?” celetuk Mas Bara
“Bukan..bukan gitu, Bara.., gayeng itu seru, hangat, menyenangkan, menyenangkan. Kaprikornus tujuannya acara kita nanti malam biar lebih seru dengan adanya aksesori ketela yang dibakar juga bersamasm jagung yang sudah kita bawa” klarifikasi Ayah sepertinya cukup bisa dikenali oleh kedua kakakku, tapi belum untukku.
“Neisya ga mau bakar ketela biar gayeng, Neisya maunya nyanyi sama sama aja” protesku.
“Iya, Sayang..nanti kita membuatapi unggun, bakar ketela, bakar jagung, bakar ikannya sambil nyanyi ya..” kata Ayah yang membuatku merasa senang.
Dan benar saja ketika malam datang, setelah mengolah kuliner untuk makan malam, kami mulai menyalakan api unggun. Selain selaku penerang dan pemanas, ternyata api unggun kian menciptakan malam kami menjadi lebih menyenangkan, kami bernyayi bareng , bercanda,saling bercerita, tak lupa sambil mengkonsumsi bekal kuliner yang kami bawa dari rumah juga ketela dan materi kuliner lain yang sudah dibakar, hmm..jadi seperti ini yang Ayah maksud dengan gayeng, pikirku. Sayangnya, Bunda tidak bareng kami malam ini, secara tiba-tiba aku jadi merasa kangen sama Bunda.
Angin yang tadinya sepoi sepoi mendadak terasa lebih kencang, berhembus dari danau menerpa ujung jilbab di dahiku, membuyarkan lamunanku tentang petualangan pertamaku dulu. Mengenang kejadian waktu itu, dadaku terasa sesak. Seandainya sekarang saya sedang berada diantara mereka semua, niscaya makin lengkap kebahagiaan yang saya rasakan dikala ini.
“Mas Lana..Mas Bara..Neisya kangen kita sama sama lagi kayak dahulu” gumamku lirih seorang diri.
Bulan depan saya diwisuda, Ayah dan Bunda berjanji akan datang. Aku berharap mereka merasa gembira dengan apa yang saya capai ketika ini. Terima Kasih, Mas..selain sebab kedua orang tua kita, berkat kalian juga sekarang saya bisa mirip ini, kasih sayang yang tak pernah putus, bimbingan dalam berguru dan ketabahan kalian yang senantiasa menenangkan kerewelanku saat kita masih sama sama dahulu, iya..dulu, alasannya sekarang tidak lagi.
“Assalamu’alaikum. Dek Neisya..! coba tebak, mas Bara dan Mas Lana bawa apa hari ini?” Terdengar suara Mas Bara dari depan rumah, mereka baru saja hingga dari sekolah.
“Wa’alaikumsalam..” sahutku serentak dengan Bunda.
“Apa mas? Neisya dibeliin apa?” hamburku penasaran ke arah mereka.
“Coba tebak dulu dong..” goda Mas Lana gak mau kalah.
“Mmm..permen ya? mainan?” aku coba menebak
”Bukaaan..” jawab mereka berbarengan
“Apa dong? Sini, kasih langsung aja mas..” rengekku berharap mereka tak lagi memintaku menebak.
“Mas Lana..Mas Bara..ganti baju dulu, cuci tangan, cuci kaki” perintah Bunda.
“Gak bisa Bunda..ini kudu cepet cepet, nanti keburu mencair” kata Mas Bara.
“Sssstt..jangan bilang gitu, nanti Dek Neisya tau yang kita bawa apaan” sahut mas Lana sambil buru buru menutup verbal Mas Bara.
“Hah mencair?? Aku tau, es krim ya!” teriakku kegirangan alasannya adalah merasa mampu menebak apa yang dari tadi mereka sembunyikan dalam kantung plastik yang Mas Bara bawa.
“Aahh..gara gara Bara nih” gerutu mas Lana disahut dengan tawa kami bersama sama.
Hampir setiap hari ada saja kejutan kejutan kecil yang mereka bawa untukku ketika pulang sekolah, dan itu membuatku selalu semangat menanti kedatangan mereka dirumah.
Kebiasaan itu masih sering mereka lakukan hingga mereka menginjak sekolah menengah atas.
Usai menikmati es krim bareng , kami sempatkan bermain sebentar sebelum waktu mandi sore datang. Mas Bara membuat pesawat telepon dari dua kaleng bekas yang dihubungkan dengan memakai benang, katanya lewat dua kaleng itu kita mampu mendengarkan bunyi seseorang yang mengatakan dikaleng satunya, begitu juga sebaliknya, asal benang yang menghubungkan kedua kaleng itu kepincut dan tidak menyentuh benda lain. Mas Lana juga menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi, suara atau suara bisa merambat melalui 3 benda, benda padat, benda cair dan benda gas, tak lupa beliau juga menawarkan contoh masing masing benda yang dimaksud. Aku menyimak dan coba mencerna penjelasan mereka, walaupun banyak yang belum aku memahami tetapi saya selalu bahagia bila mereka mengajari saya wacana banyak hal sambil bermain seperti ini.
Setelah pesawat telepon itu jadi, mereka menjajal mempraktikkan apa yang mereka jelaskan tadi padaku. Aku bersorak gembira dikala giliranku datang dan saya benar benar bisa mendengar suara bisikan mereka dari kaleng yang saya pegang, kami bergantian saling berbicara dan mendengarkan.
“Hari ini tadi Mas Bara dan Mas Lana belajar wacana ini di sekolah” kata Mas Bara kepadaku.
Siang ini, usai aku diwisuda tanda kelulusanku dari Sekolah Dasar, Mas Lana dan Mas Bara berjanji akan memperlihatkan kado kelulusan untukku, kado spesial katanya. Selain alasannya adalah lulus, aku juga dinyatakan sebagai salah satu siswa berprestasi non akademik dan lulusan dengan nilai terbaik di sekolahku tahun ini. Ayah dan Bunda terlihat senang dan terharu ketika namaku disebut dan mereka diminta ke atas panggung untuk menemaniku mendapatkan penghargaan dari Kepala Sekolah.
Malam ini kami berencana menyanggupi seruan Mbah Bapak dan Mbah Ibu untuk makan malam di rumah ia. Mbah Ibu masak spesial untuk kami, kata Mbah Bapak kepada Bunda melalui Handphone. Tak lama sesudah itu kami pulang. Sesampainya di rumah saya tak tabah menunggu kedua abang kembarku, aku ingin tau kira kira mereka memberi hadiah apa untuk kelulusanku kali ini.
Hari telah beranjak sore dikala HP Ayah berbunyi, “Assalamu”alaikum..” sapa Ayah pada seseorang di seberang sana. Aku asyik nonton serial TV kesukaanku, tak lagi menyimak apa yang Ayah bicarakan, yang aku tahu tiba tiba Ayah dan Bunda mengajakku pergi ke suatu kawasan. Aku cuma berdasarkan saja tanpa banyak bertanya, “Kita mau kemana Bunda? Kenapa Bunda menangis?” tanyaku tak tahu apa yang terjadi. Bunda tidak menjawab, kulihat Ayah terlihat pucat sambil mengemudikan mobil lebih kencang dari biasanya. Melihat mereka seperti ini, saya tak bertanya lagi, kusimpan rasa keingintahuanku sendiri. Sampai pada akibatnya kendaraan beroda empat kami memasuki pintu gerbang sebuah bangunan yang dari sini mampu aku lihat tulisan “RUMAH SAKIT”.
Kami buru buru masuk ke suatu ruangan, setengah berlari, kami disambut oleh seorang Polisi yang ternyata yakni sahabat Ayah waktu sekolah dahulu. Dari sini gres saya tahu bahwa Mas Lana dan Mas Bara mengalami kecelakaan beruntun ketika perjalanan pulang. Badan ini tak lagi mampu bangun rasanya mendengar klarifikasi seorang Polisi sahabat Ayah itu, aku cuma menangis dan memeluk bersahabat badan Bunda yang terduduk lemas di sebuah bangku. Kedua Kakakku terbaring tak sadarkan diri di ruang IGD dikerjakan oleh beberapa dokter dan perawat sambil menunggu persetujuan Ayah untuk mengambil langkah-langkah operasi yang harus secepatnya dilaksanakan pada Mas Bara. Sedangkan Mas Lana dibawa ke ruangan ICU, luka mereka cukup parah, itu yang saya tahu.
Entah kesedihan mirip apa yang saya rasakan kini, sepertinya gres kali ini saya merasakan kesedihan yang sungguh. Aku takut kehilangan mereka, rasanya membayangkan saja aku tak sanggup. Aku hanya mampu menangisi kondisi mereka. Aku tak menginginkan kado apapun untuk kelulusanku hari ini selain kesembuhan mereka.
“Neisya sayang..” ucap Mbah Ibu sambil memelukku, “Mas Lana meninggal, Nak..”. Aku tak yakin dia menyampaikan itu padaku, hatiku hancur, aku menangis sejadi jadinya. Kemarin malam sesudah Mbah Ibu dan Mbah Bapak menyusul kami di Rumah Sakit, mereka membujukku dengan banyak sekali argumentasi biar saya tak tinggal di Rumah Sakit, mau diajak pulang kerumah mereka. Satu yang membuatku balasannya mau pulang adalah ucapan Bunda, “Sayang..doakan kakakmu, Neisya mampu berdoa lebih khusuk kalo di rumah, Neisya mampu minta sama Allah untuk kesembuhan kakak kapanpun Neisya mau. Tidak disini Nak, semoga Ayah dan Bunda yang disini, tugas Neisya sekarang yakni berdoa dengan khusuk”.
Aku masih larut dalam kesedihan, dua hari lalu saat saya tertidur di sofa ruang tengah Mbah Ibu, sayup sayup kudengar Mbah Ibu menangis, bersama Mbah Bapak. Aku menghampiri mereka, menanyakan kenapa mereka menangis.Tak ada balasan pasti alasannya alasannya adalah apa, mereka hanya mengajakku untuk pulang ke tempat tinggal. Perasaanku tak enak, sepanjang perjalanan aku hanya menyimpan rasa ini dalam diam, tak berani menanyakan apa yang sebetulnya terjadi. Sesampainya di rumah saya gres menyadari bahwa Mas Bara meninggal, menyusul Mas Lana, sesudah kulihat ada kendaraan beroda empat Ambulance terparkir di depan rumah dan sebuah keranda dikeluarkan dari dalamnya. Aku terduduk lemas dipelataran rumahku, aku menjerit menangis di pelukan Mbah Ibu. Mas Bara..kenapa kamu juga tega meninggalkan aku sendirian? Mas Lana..dengan siapa lagi saya bermain? siapa lagi yang hendak membuatku tertawa setiap hari? Tak ada lagi yang akan saya tunggu kepulangannya setiap hari, tak ada lagi kejutan kejutan manis untukku. Mas..mulai sekarang aku tak mau hadiah apapun lagi selain tawa dan keberadaan kalian setiap hari bersamaku. Aku masih saja terus menangis, tak peduli suara banyak orang yang datang ke tempat tinggal untuk takziah dan meluangkan diri menghiburku hingga jenasah Mas Bara dimakamkan disamping Mas Lana.
Air mataku menetes membasahi jilbab yang saya kenakan, rasa rindu tentang keindahan hari hariku dulu bareng Mas Lana dan Mas Bara benar benar menguasai hati dan pikiranku. Rasanya ingin kuulang kembali masa itu, abad kecil yang sangat menyenangkan, dimana hanya ada tawa dan kebahagiaan kami walaupun juga tak jarang kami bertikai. Sayup sayup kudengar suara adzan dari masjid kampus. Kujawab lantunan adzan sampai final, kemudian kudoakan mereka semoga Allah mengampuni dosa dan menerima amal kebaikan mereka semasa hidup, mempertemukan kami kembali bareng dengan Ayah dan Bunda di Syurga-Nya, bareng Mbah Ibu juga Mbah Bapak yang telah berpulang. Setelahnya aku beranjak dari tepi danau menuju masjid kampus untuk melakukan shalat jamaah bersama sahabat temanku.
Presented by Wahyu Handayani