Kenangan Di Serambi Rumah – Cerpen

 lebih banyak orang mengenalku sebagai Lia Kenangan di Serambi Rumah - CERPEN

Aku, Amalia. Nama panjangku Lathifah Amalia. Namun, lebih banyak orang mengenalku sebagai Lia. Usiaku saat ini 25 tahun. Aku anak tunggal. Aku terlahir dari seorang wanita yang hebat, Bu Minah dan seorang laki-laki andal, Pak Somad. Aku seorang dosen di suatu perguruan tinggi tinggi negeri di kota pelajar, Yogyakarta. Saat ini, pastinya aku pun menetap di sana. Dulu saya tak pernah berkhayal mampu berguru hingga ke kota dengan julukan kota gudeg ini. Apa lagi untuk berimajinasi menjadi seorang dosen.

Tapi takdir Allah membawa alur perjalanan kehidupanku. Alur perjalanan kehidupan seorang anak desa yang tak dapat dibayangkan oleh akal manusia. Namun, aku sadar bahwa di balik ini semua ada campur tangan doa dan air mata perempuan luar biasaku dan pria hebatku, Ayah dan Bunda.

“Terima kasih, Pak.” Ucapku Seraya menyerahkan duit sepuluh ribu rupiah kepada seorang tukang becak.

“Suwun, Mbak.” Jawabnya singkat dalam bahasa Jawa sambil meninggalkan aku sendiri di depan suatu rumah tua yang tampak tak lagi terurus.

Langit di kepingan barat mulai terlihat memerah. Menandakan senja akan secepatnya membalut langit untuk menyambut datangnya malam. Halaman luas yang ditumbuhi dua pohon mangga itu terlihat bersih. Pasti Ayah senantiasa meluangkan waktu untuk membersihkannya. Di samping kanan dan kiri rumah terlihat kebun sayur sederhana dengan memanfaatkan lahan kebun di halaman rumah. Tentunya ini yaitu hasil tangan terampil Bunda untuk mengisi acara setiap hari. Aku memasuki halaman rumah dan terus mendekati pintu rumah. Dari luar saya dapat dengan jelas mendengar obrolan Ayah dan Bundaku. Suara dan suasana di serambi rumah bau tanah ini mengelupas gesekan dongeng periode itu. Dari sermbi depan ini, aku mendengar Bunda menyebut namaku dan ditimbali oleh Ayah. Entah apa yang menjadi pembahasan beliau hanya yang saya dengar ia sedang menyiapkan program untukku. Aku senyum-senyum sendiri di depan pintu. Untung saja tidak ada tetangga yang lewat. Makara ulahku ini tak ada yang menyaksikan.

Aku hempaskan tubuh bersandar di bangku rotan lama. Usia dingklik ini lebih bau tanah dan usia Bunda sebab bangku rotan ini peninggalan Simbah, ibu dari Bundaku. Aku sengaja tidak segera masuk ke dalam rumah. Karena memang kepulanganku hari ini tidak dikenali oleh Bunda dan Ayah. Setidaknya ketika pulang tanpa pemberitahuan bisa menjadi sebuah kejutan dan yang niscaya tidak akan menyebabkan rasa khawatir mereka selama aku masih dalam perjalanan.

Suasana rumah masih tampak seperti tiga tahun kemudian. Tak ada yang berganti. Aroma alam desa menghidupkan memori akan kala silam yang tak mampu saya lupakan. Serambi depan ini yaitu saksi atas semua perjuangan dan prestasi yang saya pernah gapai. Di dingklik rotan ini dahulu Bunda dengan sarat kasih sayang membimbing aku berguru. Dan Ayah juga tidak mau tertinggal tugas. Beliau senantiasa menyiapkan apa pun impian dan kebutuhanku. Alam pikirku menembus waktu belasan tahun silam.

“Nduk, kok sedih?” Tanya Ayah mendekati saya yang sedang duduk sendiri di serambi.

“Akh, nggak kok, Yah.” Jawabku singkat sambil berusaha menetralisir bulir bening yang membasahi pipi.

“Lho…lho kok nangis? Ada apa?” Ayah memelukku. Ekspresi khawatir dia akan putri semata wayangnya ini menciptakan air mataku semakin deras.

“Lia, ada apa? Apa kamu sedang punya problem?” Ayah terus mendesakku. Isak tangisku menciptakan dada ini serasa penuh.

“Bunda…Bunda!” Teriak ayah pecah mengejutkan Bunda yang sedang masak di dapur.

“Ada apa, Yah?” Ibu menimbali panggilan Ayah sambil berlari ke serambi.

“Lia, Bun!” Jawab Ayah sambil teriak.

“Lho, Lia ada apa? Kok nangis?” Giliran Bunda yang tampak panik.

Ayah memindahkan saya ke pelukan Bunda. Pelukan ia berdua selalu menciptakan teduh jiwa dan raga ini. Dua hero hati yang rasanya tak mungkin ada yang bisa mengambil alih posisinya di hatiku.

“Cerita ke Bunda, Nduk. Cerita apa masalahmu? Kok malah nangis?” Ujar Bunda, mirip biasa ia selalu tegar dan tegas. Dan sikapnya ini yang selalu memotivasi saya untuk terus berjuang dan berprestasi akan berbagai hal.

“Bunda, Ayah,…bergotong-royong Lia menangis bukan karena sedih. Tapi Lia gundah.” Jawabku resah, entah mesti memulai dari mana.

“Lha ya, ada apa?” Bunda memancing aku untuk terus bercerita.

“Begini, Bun, Yah… Lia lolos seleksi siswa prestasi dan Lia harus maju tingkat Provinsi. Tapi…” Aku hentikan penjelasanku. Ayah dan Bunda semakin penasaran. Karena sebaiknya saya senang dengan prestasi ini.

“Alhamdulillah, Lia!” Ayah dan Bunda mengucap syukur nyaris bersamaan.

“Kamu seharusnya besar hati, Nduk.” Ayah mengusap kepalaku.

“Ya, Ayah benar. Tak semua anak bisa berkesempatan seperti kau.” Bunda melanjutkan.

“Tapi Bunda, Ayah. Lia malu.” Aku menundukkan kepalaku.

“Lia malu, alasannya adalah Lia cacat, Ayah, Bunda.” Aku menerangkan kekalutan yang saya rasa.

“Kaki Lia tidak sama panjang, Bunda. Kalo Lia berjalan pincang.” Air mata tak terbendung menciptakan ucapan ku terbata-bata.

“Lia, dengarkan Bunda. Semua kita tepat di mata Allah. Karena kita terlahir dengan kelebihan masing-masing. Cacat Lia bukan suatu kekurangan tetapi keunikan yang tak dimiliki orang lain.” Bunda menguatkan hatiku ketika itu.

“Menjadi pelajar yang berprestasi tidak alasannya adalah cantiknya atau sempurna secara fisiknya, Sayang. Tapi yang utama yaitu etika dan kecerdasannya. Ditambah lagi Lia berakal bernyanyi Suara Lia manis sekali. Pasti itu lho yang jadi poin khusus untuk Lia.” Ujar Bunda makin menguatkan hatiku.

Akh…kenanganku dikala berada di kelas 5 dan mesti menjadi duta Kabupatenku sebagai siswa berprestasi di tingkat Provinsi. Meskipun di tingkat Provinsi. Aku Cuma masuk sepuluh besar terbaik. Bagiku itu telah cukup membanggakan. Dan, yang paling utama aku telah menandakan pada Bunda dan Ayah bahwa aku sungguh yakin diri.

Sejak dikala itu aku sering tampil menyanyi di berbagai event. Namun, soal akademik saya pun tak pernah mau tertinggal. Piala berjejer di rak dan piagam bertumpuk di document keeper sebagai saksi akan usaha dan presatsi yang pernah aku raih.

Bundaku memang perempuan luar biasa. Beliau tak pernah mengenyam pendidikan yang tinggi. Beliau hanya seorang anak desa yang hanya menempuh pendidikan hingga tingkat SMP.

Namun, entah dari mana beliau mampu banyak belajar untuk menjadi guru terbaik bagiku. Karena abad itu belum ada internet yang menawarkan google, wikipedia, dan sebagainya sebagai sumber berguru. Mungkin Bunda memang seorang wanita pandai. Hanya kondisi yang menciptakan ia tak mampu melanjutkan sekolah ketika itu. Bunda yaitu motivator utama untuk saya. Beliau penasihat terbaik yang bisa menempatkan diri. Kadang berperan sebagai orang renta. Namun, kadang memposisikan diri sebagai teman untukku.

Demikian Ayahku, beliau bukanlah seorang lelaki dengan pangkat dan jabatan tinggi. Beliau hanya seorang buruh bangunan dengan penghasilan musiman. Pendidikan ia hanya ditempuh hingga Sekolah Teknik. Mungkin kalau disamakan dengan sekarang semacam Sekolah Kejuruan. Namun beliau yaitu pahlawan hati yang tak pernah lelah mencari nafkah demi aku dan Bunda. Tak pernah saya dengar keluh kesahnya atas segala beban hidup. Semangatnya untuk membiaya kehidupan dan pendidikanku tak pernah pudar. Aku mampu mengetahui tanggung jawab yang ia pikul tidaklah ringan tentang ongkos. Hal ini terbaca saat di kursi SMP saya pulang dengan membawa surat dari sekolah yang menyatakan bahwa saya menerima beasiswa selama masih dapat menjaga prestasiku. Tampak guratan bahagia di sana. Bukan alasannya dia ingin lepas dari tanggung jawabnya.

Namun, ada rasa bangga akan itu semua.

“Lho, Mbak Lia. Sudah pulang dari Amerika to?” Tiba-datang bunyi Pak Ali, takmir mushola akrab rumah kami, memecahkan lamunanku.

“Oh, nggih, Pak.” Jawabku gugup.

Kreeeeek. Bersama dengan itu, terdengar bunyi pintu ruang tamu terbuka.

“Lho Nduk. Kok nggak ngabari kami?” Ayah tampak terkejut menyaksikan sosokku di serambi rumah.

“Iya, Yah. Sengaja kok. Biar surprise.” Jawabku sambil mencium punggung tangan Ayah.

“Ayah sehat, kan?” Tanyaku sambil menjinjing koper pakaian yang sedari tadi menemaniku membuka memori di serambi depan.

“Bun…Bun…Lihat ini lho siapa yang datang?” Timbal Ayah sambil mencari Bunda.

“Iya. Ayah…sebentar. Bunda sekalian wudhu. Sebentar lagi maghrib. Bunda mau eksklusif wudhu. Mau dzikir dan doa sebelum maghriban. Mau doakan Lia. Lha siapa toh yang tiba?” Bunda terus aja berceloteh tanpa menyadari bahwa saya sudah ada di akrab sumur.

“Assalamualaikum, Bunda.” Aku mengucapkan salam dan menghampiri wanita mulia ini.

“Masyaallah, Liaaaaa!” Bunda menyebut namaku dan tampak terkejut akan keberadaanku. Ekspresi tampang besar hati dan rindu menjadi satu. Rindu yang kesudahannya dapat terobati sesudah tiga tahun di negeri orang, demi menyanggupi panggilan bea siswa doctoral di Negeri Paman Sam.

“Kok nggak ngabari, Bunda?” Tanyanya sambil berkali-kali mencium pipiku. Bola matanya yang indah terlihat berkaca-beling. Tanganku pun ditarik ke arah padasan (ember untuk memuat air wudhu).

“Sekalian wudhu. Terus, kita berjamaah di mushola seperti dahulu. Biar para tetangga ngerti bila Dr. Lathifah Amalia, M. Ed., putri semata wayang Bapak Abdul Somad dan Ibu Aminah telah kembali dari Amerika.” Ujar Bunda sambil tersenyum besar hati seraya melirik Ayah yang sedari tadi tak berkedip memandang saya.

Kami bertiga berlangsung ke depan dan ikut berjamaah di mushola tempat saya belajar mengaji ketika masih kecil. Semua tetangga bahagia sekali dengan kepulanganku. Aku bahagia bisa menjadi salah satu teladan untuk anak-anak dan sampaumur di desaku. Setelah shalat maghrib kami tidak eksklusif pulang. Kami beramah tamah sambil menunggu waktu isya.

Semua yang ada di mushola ini masih sama. Tak ada yang berubah. Yang berganti adalah putaran waktu yang tak mungkin mampu kembali.

Ayah dan Bunda menggandeng tanganku. Aku merasa kembali seperti balita, yang berlangsung dengan digandeng oleh Ayah dan Bunda. Aku merasa dikawal selayaknya putri raja. Aku senyum dan besar hati sekali pada dia berdua.

Sesampai di rumah, saya mengajak Ayah dan Bunda untuk duduk di serambi rumah sambil memandang bulan purnama yang mengintip kebahagiaan kami dari balik awan malam.

“Yah, kita duduk di serambi dulu yuk.” Ajakku sambil menarik lengan Ayah dan Bunda.

“Bunda letakkan mukena dan sajadah ke dalam dahulu.” Bunda pamit masuk.

“Oya, Nduk…masih doyan susu, to? Bunda buatkan susu hangay, ya?” Langkah Bunda terhenti hanya untuk mengingatkan aku perihal susu hangat yang senantiasa berkala dibuatkan Bunda sehabis kami shalat isya. Dan, saya cuma bisa menjawab dengan anggukan.

“Nggak hambar?” Tanya Ayah membuyarkan lamunan wacana Bunda dan susu hangatnya.

“Nggak, Yah. Lia suka di sini. Di serambi ini.” Aku tersenyum pada Ayah.

“Ayah, Lia mau ucapkan terima kasih yang tak terhingga, tanpa Ayah dan Bunda maka tak akan ada Lia yang seperti ini.” Ucapkan lirih sambil berkali-kali mencium tangan Ayah.

“Lia kok suka di serambi depan ini?” Tanya Ayah mengajak saya menerawang jauh kembali ke kurun silam.

“Iya, Yah…Lia sangat suka di serambi ini. Banyak hal yang tak terlewatkan.” Jelasku singkat.

“Ayah ke dalam sebentar ya.” Ayah pamit masuk. Mungkin akan mengawalBunda di dapur.

“Siap, Ndan!” Aku jawab dengan tegas layaknya seorang tentara sambil meletakkan ujung kelima jari tangan kananku di pelipis mata.

Aku sandarkan kepala belakangku pada sandaran kursi rotan. Ku pejamkan mata, berupaya menembus lintasan garis waktu. Tampak situasi itu mirip slide film yang berputar di depan mata.

Saat itu aku baru berumur 9 tahunan dan duduk di kelas 3. Seperti kesehariannya, saya bermain di serambi rumah. Aku bermain dengan boneka-boneka yang aku miliki. Aku perlakukan mereka selayaknya siswa di kelas. Papan tulis hitam bikinan Ayah, menjadi media untuk aku belajar dan bermain. Ayah dan Bunda sungguh peka dengan sistem belajarku yang selalu menjiplak cara seorang guru. Bagiku dengan menerangkan bahan terhadap orang lain, berbicara di depan kelas sepantasnya seorang guru, maka bahan pelajaran di sekolah sangat gampang aku serap.

“Bunda, jika Lia telah besar. Lia mau jadi guru, ya?” Aku menyampaikan keinginanku untuk jadi guru.

“Boleh, Nduk. Tapi jika Bunda berharap dan berdoa Lia nggak jadi guru untuk siswa. Tapi mampu jadi guru untuk mahasiswa.” Kalimat Bunda masih jelas terngaing di telingaku.

“Makanya Lia berguru yang bersungguh-sungguh. Insyaallah, niscaya doa kita terkabul dan pasti cita-cita Lia akan tercapai.” Bunda melanjutkan wejangannya.

Sejak dikala itu, serambi rumah menjadi ruang kelas terbuka di rumah kami. Jika sebelumnya beberapa bonekaku berperan sebagai siswa. Namun, semakin hari serambi ini dipenuhi sobat-sobat yang ingin berguru bersama. Dan pasti, saya senantiasa yang berperan menjadi guru mereka. Cara saya mencar ilmu ialah dengan menerangkan sesuatu, sepantasnya selaku guru dan pembicara. Sementara, sahabat-temanku menjadi siswa atau audien dari materi yang saya sampaikan. Jika dapat aku mengibaratkan, sistem belajarku bareng sobat yakni semacam simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan. Bunda pun selalu mendampini aku dalam aktivitas mencar ilmu kelompok itu.

Ada hal lucu yang tak terlupakan, Bunda selalu menyediakan air di kendi (tembikar untuk kawasan air) dan ketela rebus untuk suguhan kami berguru. Suatu hari, saat menjelang ulangan semester, Bunda menyampaikan bahwa air dari kendi ini berkhasiat. Insyaallah yang meminumnya akan mampu menemukan nilai yang baik. Semua sahabat ku berebut ingin mencicipinya. Dan sangat tidak disangka, nilai kami baik semua. Setelah dewasa baru aku mengetahui bahwa bukan air dari kendi itu yang berkah. Namun, ucapan Bunda ialah doa.

Dan sekarang air kendi yang selalu Bunda sediakan sungguh-sungguh terbukti. Seorang Lathifah Amalia, gadis desa yang cacat fisik ini hasilnya bisa meraih gelar doktoral dengan predikat cumlaude, tercepat terbaik. Mendapat beasiswa untuk kuliah di mancanegara dan mampu mendatangi negeri manca alasannya adalah ilmu yang dimiliki.

“Malah bobok di serambi.” Suara Ayah membubarkan slide film kala laluku.

“Nggak kok, Yah. Cuma membuka kenangan di serambi ini.” Desahku.

“Iya, Nduk. Serambi ini penuh ingatan. Di sini perjuangan awalmu dimulai,” Lanjut Bunda sambil tersenyum “Bunda, Ayah, Terima kasih atas semuanya. Tanpa doa dan motivasi Ayah dan Bunda Lia nggak akan mirip saat ini.” Ucapku haru sambil menggenggam tangan kedua orang tuaku ini.

“Lia bukanlah siapa-siapa tanpa Ayah dan Bunda. Lia cuma anak desa yang cacat dan berasal dari keluarga menengah ke bawah. Tapi Ayah dan Bunda senantiasa membesarkan hati Lia. Lia nggak mungkin bisa membalas semuanya.” Bulir bening mulai perlahan menetes di pipiku.

Ayah dan Bunda memelukku bersamaan. Suasana malam itu semakin mengharu biru.

“Ayah, Bunda. Lia pulang ke tempat tinggal. Selain memang kangen sekali sebab sudah tiga tahun di studi di Amerika. Maaf, pada dikala wisuda Doktoral, Lia tidak mengajak Bunda dan Ayah ikut ke sana. Karena ada yang lebih itimewa dari itu semua. Hari ini Lia ingin memberitahu bahwa Ayah dan Bunda telah Lia daftarkan program haji di Departemen Agama. Hmmm…Lia tahu ini belum mampu membayar semua yang telah diberikan ke Lia.” Jelas ku panjang lebar.

“Ya Allah, Nduk … Alhamdulillah. Terima kasih, sholihah Bunda.” Ucap syukur Bunda, Ayah tampak speechless, hanya derai air mata ia tampak terang tak terbendung.

“Semoga kelak dirimu bahagia dan selamat dunia dan darul baka, sholihahku.” Doa Bunda.

“Aamiin.” Kami berucap serentak.

Malam ini kembali serambi depan rumah kami mengukir kisah untukku. Semoga Ayah dan Bunda senantiasa dijaga oleh Allah. Sampai saat ini Beliau berdua tidak pernah berkeinginan untuk ikut aku dan pindah ke kota Yogyakarta. Karena mereka tidak ingin meninggalkan rumah yang penuh sejarah dan kenangan. Rumah peninggal Simbahku dari Bunda.

Semoga kelak kalau saya berkeluarga dan bisa memikili buah hati. Insyaallah aku akan berupaya mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, dan mirip cara Bunda dan Ayahku mendidik aku. Beliau berdua mendidik dengan sarat kasih.

Ada satu pesan Bunda yang dia kutip dari ayat Al Qur’an, yang hendak senantiasa saya jaga, ialah bahwa biar aku senantiasa jadikan shalat dan sabar selaku penolong. Ayah dan Bundaku tidak mewariskan harta benda untuk saya. Tapi, dia memperlihatkan saya peluang untuk menimba ilmu dan berguru. Karena selain atas dasar bahwa belajar yakni suatu kewajiban bagi setiap muslim, Bunda pernah menggambarkan bahwa dengan ilmu maka harta dan benda bisa dicari. Tapi dengan harta yang tak berbekal dengan ilmu maka belum pasti dapat membuat manusia menjadi terdidik. Warisan yang Bunda dan Ayah beri yaitu lembaran-lembaran ijazah yang aku dapatkan dengan usaha, doa dan air mata.

Rabighfirli wali wali dayya warhamhumma kama rabbayani soghiro. Aamiin.

Oleh:
EKA ERMIYANTI
(Bunda Gustav Adriyoka)