Temaram lampu teplok (lampu isi minyak tanah) di sudut meja rumah memperbesar ruang cahaya yang mengawalcanda tawaku bareng kakakku di malam itu. Tiba-tiba aku teringat akan ibuku.
“Kakak, Ibu mana?” tanyaku dengan nada takut. Kala itu umurku baru 4 tahun dan kakakku 3 tahun lebih tua dariku.
“Ke sawah,” jawab kakakku.
“Malam-malam begini ke sawah?” tanyaku lagi dengan nada tak yakin.
“Iya, Ibu mengawalayah gilir air sawah, jatah dari sumur desa biar bisa tanam padi,” jawab kakakku lagi.
Rupanya ayah ibu pergi ke sawah tanpa sepengetahuanku, alasannya jikalau aku tau niscaya aku nangis merengek dak mau ditinggal.
“Trus kita di rumah cuma berdua!” tanyaku lagi dengan nada agak tinggi.
“Iya, udah ayo tidur abang temani,” Jawab kakakku lagi sambil menjangkau tangan mungilku.
Kulewati malam itu bareng kakak perempuanku di atas tikar pandan tanpa kasur tanpa guling, cuma bantal kecil yang melekat di kepalaku. Rasa dingin dan takut merasuki pikiranku. Ku melarat tuk selimuti badan mungilku sembari menghemat rasa takutku. Aku terlelap melewatkan panik tanpa ayah dan ibu.
Keesokan harinya, pancaran mentari pagi menerobos celah genteng yang pecah, membangunkanku dari tidur malamku.
“Adik sholat dahulu!” teriak abang mengagetkanku.
“Bentar Kak,” jawabku. Tanpa kusadari saya sudah bangkit kesiangan.
Samar – samar kudengar suara ibuku dari celah jendela dapur. Rasa bahagia menciptakan kaki kecilku berlari meraih ibuku kepeluk dengan nada manjaku yang merajuk mau ikut kemanapun ibu pergi. “Hemm,” ibu menghela nafas, “Ayo sholat dahulu nanti keburu siang,” ajak ibu, sambil mengendonggkuku berwudlu. Kalau udah sholat sarapan dulu, bentar lagi ibu ke sawah mengirim sarapan buat ayah.
“Tapi sarapannya aku dak mau nasi coklat (nasi tiwul), saya maunya nasi putih (nasi dari beras) aja,”pintaku dengan merajuk.
“Iya, dah ibu siapin khusus buat adik,” jawab ibu sambil membersihkan perlengkapan dapur yang kotor.
Dalam sekejap di pangkuanku dah menunggu mangkuk kecil dengan nasi putih bertaburan garam di atasnya. Tanpa tanya lagi kusantap nasi putih kesayanganku tanpa peduli toping apa yang ada diatasnya.
“Alhamduillah leganya mampu mengkonsumsi nasi putih tanpa coklat (tiwul) hari ini,” gumanku dalam hati.
“Ibu aku ikut ke sawah ngantar sarapan buat ayah, kakak kan sekolah aku dak mau di rumah sendirian,” pintaku sambil menggoyang-goyang tubuh ibu.
“Iya,” jawab ibu.
Riangnya saya berjalan tanpa bantalan kaki sampai jemari kakiku mampu bermain watu sepanjang jalan, mengikuti langkah ibu menyusuri pematang sawah yang sarat rumput.
Sesekali kujatuhkan tubuhku dan ibu menolongku untuk berdiri. Ayah yang mencangkul tepi pematang menghilangkan rumput liar yang ingin numpang hidup, menengok ke arahku sambil tersenyum. “Kok ya ikut to,” tutur ayah. “Iya, aku ngantar sarapan buat ayah!” sahutku sambil berlari mendekat. Segarnya udara pagi itu membuatku kian berseri. Gunung lawu yang menjulang tinggi tampak memantulkan warna biru langit yang cerah. Seakan-akan melambaikan tangannya mengajakku menari.
Tiga hari lalu disuatu pagi buta Kang Kliwon (yang bantu ayah di sawah) mengeluarkan Si Tunggang (kerbau hitam kelam bertubuh tinggi besar milik ayahku yang bertugas membajak sawah di isu terkini tanam padi) dari kandang belakang rumah. Tiba – datang Si Tunggang meloncat dan berlari, “yaach” lepaslah tali dadung dari genggaman Kang Kliwon.
Aku yang duduk di depan rumah tak menyadari hadirnya Si Tunggang dari belakang punggungku. Dan datang – datang “yaaaat, buuuuk!” Si Tunggang meloncatiku bagikan lompat tali dengan riangnya. Spontan ayah ibuku menjerit dan berlari meraih badan mungilku dengan secepat kilat saya dah berada di gendongan ibuku. Kang Kliwon cemas karena dimarahi ayahku. Alhamdulillah aku tidak terinjak kaki Si Tunggang. Memang Si Tunggang suka menggodaku, suka melompatiku tanpa menginjakku. Sebagai kompensasi aku merajut pada ayah untuk ikut Si Tunggang ke sawah. Ketika ayahku mengangguk secepat kilat aku turun dari gendongan ibu naik ke punggung Si Tunggang dengan dibantu Kang Kliwon.
Ibuku berlangsung dibelakang Si Tunggang sambil menjinjing sarapan pagi. Ayahku berjalan disamping ibu sambil membawa perangkat untuk membajak sawah. Itulah momen yang paling membuatku senang, sepanjang jalan sambil mengeluarkan suara sumbangku aku bernyanyi riang di atas punggung Si Tunggang yang berlangsung ±1 km dari rumahku. Kebahagiaanku makin bertambah dikala disambut hamparan sawah sarat lumpur yang berkelok – kelok seakan mengajakku bermain – main.
“Ibu, kemarin kan belum ada lumpurnya, kok sekarang ada?” tanyaku tanpa menoleh ke Ibu. “Iya, nanti jikalau main lumpur hati-hati jangan hingga jatuh!” seru ibu.
“Iya bu, saya hati-hati,” sahutku sambil tersenyum bahagia.
“Si Tunggang saya turun!”, teriakku pada Si tunggang. Dengan sekali tepuk maka Si Tunggang akan merunduk dan loncatlah aku di kubangan lumpur sawah yang mendamaikan hatiku. Kaki kecilku dengan lincah menari tanpa musik bernyanyi tanpa nada mengitari sawah yang penuh lumpur. Berlari semakin kemari menunggu Si Tunggang menuntaskan tugasnya membajak sawah. Setelah letih menghampiri kerebahkan tubuhku di parit. Kuguling-gulingkan tubuhku dan lepaslah lumpur dari badan mungilku. Sungguh hari yang mengasyikkan. Belum lagi ketika mandikan Si Tunggang sehabis tugasnya selesai, dengan bermain air membuatku lembap kuyup. Terasa lengkap telah bahagiaku hari itu.
Dua tahun lalu usia sekolah tlah memanggilku untuk membawaku ke dunia baru tanpa bermain-main dengan si Tunggang lagi. Si Tunggang sudah pergi tuk selamanya di usianya yang telah tua. Berat rasa hati berangkat sekolah tanpa mampu menikmati lembutnya lumpur sawah bersama Si Tunggang. Tapi aku harus tetap melangkah menjangkau mimpi yang terpendam di hati.
“Ibu aku berangkat ya!” seruku sambil berlari mendekat mencium tangan ibu. “Iya, hati-hati di jalan,” pinta ibu.
“Iya bu,” jawabku.
Dihari pertama sekolah, tanpa dikirim ayah ibu, ku langkahkan kaki dengan sandal jepit mungil bersama dua sahabat yang erat dengan rumahku. Aku duduk di dingklik taman kanak-kanak. Hari itu, senyum bu guru yang anggun membawakuku berkenalan dengan teman-temanku sambil bermain jamuran. Aku mulai merasakan ada dunia yang gres dalam hidupku. Teman-temanku yang selalu riang, ibu guruku yang tabah mengajariku membaca dan menulis, membuat aku merasa punya kebahagiaan gres yang selama ini tak pernah kubayangkan. Sepulang sekolah aku mulai bermain dengan sobat sebayaku.
Aku ternyata tidak sendiri, ada banyak sahabat yang mampu ku ajak menyebarkan kebahagiaan. Aku bertekad untuk sekolah dengan sungguh-sungguh.
Aku mulai semangat membaca dan menulis yang hingga sekarang jadi hobyku. Terima kasih ayah, ibu yang senantiasa mendukungku, senantiasa menjadi penyemangat hidupku dan yang senantiasa kerja keras demi aku dan kakakku.
Terimakasih bapak/ibu guruku yang mengajari ilmu sehingga aku mampu tahu dari yang tidak kutahu. Teman-sobat seperjuanganku biar kelak kita dipertemukan di periode keinginan kita sudah jadi konkret. Aamiin.
Oleh: Karmiati Bunda Rois Fadli